Pada awal Oktober 2023, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria yang mencabut Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (RA) dan Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan hutan (PPTKH). Perpres No. 62 memiliki semangat untuk melakukan percepatan untuk pemenuhan target dalam hal penyediaan tanah objek reforma agraria dan pelaksanaan redistribusi tanah, legalisasi tanah transmigrasi, penyelesaian konflik agraria, serta pemberdayaan ekonomi pasca penataan asset Reforma Agraria. Sayangnya, setelah lebih dari lima bulan perpres tersebut hadir, peraturan teknis turunannya (Permen ATR/BPN terkait) belum berhasil diselesaikan. Akibatnya, pelaksanaan RA di level tapak masih menjalankan rutinitas seperti sebelumnya, tidak ada terobosan baru dan perubahan signifikan di dalam praktik kebijakan RA. Harapannya, perpres ini mampu mengakselerasi persoalan-persoalan krusial seperti “kebuntuan atas berbagai masalah lahan transmigrasi, stagnasi capaian lahan masyarakat dalam kawasan hutan, konflik-konflik antara masyarakat vs perusahaan baik swasta maupun BUMN, persoalan lahan untuk pangan, penguasaan lahan dan ketimpangan, dan yang juga krusial persoalan kelembagaan (Gugus Tugas Reforma Agraria-GTRA) yang belum berhasil memainkan peran utama di dalam isu RA baik penataan asset di daerah maupun akses reform untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  

       Dalam konteks mandat dan peran, kelembagaan RA (GTRA) sejatinya merupakan “wasiat” dari pemerintah pusat yang diteruskan kepada pemerintah daerah, namun sejauh ini, pemda (bupati/walikota) sebagai pimpinan RA di level kabupaten/kota belum menempatkan RA sebagai bagian dari rencana strategis pembangunan wilayahnya, sehingga belum banyak perubahan kebijakan yang substantif untuk masyarakat karena pemda belum menjadikan RA sebagai agenda prioritas. Perubahan Perpres No. 86 Tahun 2018 ke Perpres No. 62 Tahun 2023 memandatkan persoalan tersebut sebagai bentuk dukungan kelembagaan pusat agar pemerintah daerah lebih banyak memainkan peran strategis dengan memasukkan agenda-agenda utama untuk membangun wilayahnya, termasuk di dalam pendanaannya. Langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah sebagaimana dituangkan dalam Pasal 3 Perpres 62 tahun 2023. Akan tetapi, seberapa efektif upaya tersebut jika ukurannya adalah menargetkan kebijakan di tahun 2024? Tampaknya cukup sulit mendorong pemerintah daerah mengambil peran penting dalam isu RA karena hampir semua bupati/walikota yang menjabat saat ini adalah pejabat sementara, bukan pejabat elected, sehingga tidak jarang yang merasa ragu untuk mengambil peran utama di dalam isu RA.

       Berangkat dari realitas tersebut, perpres ini tidak harus dibaca sebagai upaya terakhir pemerintahan Joko Widodo dalam menyelesaikan persoalan RA, namun harus dilihat sebagai upaya berkesinambungan untuk membangun Indonesia dengan pendekatan penyelesaian berbagai persoalan agraria. Langkah ini harus ditempuh karena isu agraria khususnya RA menyangkut banyak subjek masyarakat lemah dan miskin, sehingga cara membangunnya juga harus ditempatkan sebagai bagian dari upaya membangun salah satu dari berbagai persoalan agraria Indonesia dari daerah atau pinggiran. Dengan demikian, kata percepatan di dalam judul perpres harus dimaknai sebagai langkah efektif dan taktis dalam menempatkan berbagai isu agraria pada pemerintahan ke depan, agar kelanjutan dari pembangunan tidak berjalan di tempat. Cara baca ini dibutuhkan untuk melihat bagaimana persoalan agraria ke depan bisa diselesaikan dengan cara yang tepat dan selalu berada pada jalur yang tepat pula. Karena RA dalam perkembangan zaman khususnya RA ke depan tidak lagi mengandalkan distribusi tanah kepada masyarakat secara fisik, sebab cepat atau lambat tanah akan berkurang bahkan habis, tetapi dibutuhkan terobosan dan inovasi bagaimana isu RA lebih pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak lagi distribusi tanah/asset semata. 

       Berangkat dari argumen di atas, dalam kesempatan yang baik ini, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bermaksud menyelenggarakan Seminar Nasional terkait isu Reforma Agraria dengan mengajak berbagai pihak (akademisi, peneliti, praktisi, dan para pelaku di lapangan) untuk terlibat aktif di dalam menggali, menemukenali, mendiskusikan, mendesiminasikan, dan memperbincagkan secara akrab berbagai persoalan terkait isu RA di lapangan. Tema seminar yang diangkat kali ini adalah: “Keberlanjutan Kebijakan Reforma Agraria: Membangun Kedaulatan Pangan dari Daerah, Menyelesaikan Persoalan Agraria Masa Depan”. Tema utama tersebut dijadikan sebagai pijakan untuk membaca dan menghadirkan berbagai isu persoalan RA yang dilempar kepada publik untuk dijadikan tema disuksi secara intens. Turunan tema tersebut di antaranya terkait subjek-objek RA, praktik kebijakan RA di Daerah/Lapangan, persoalan konflik agrarian, masyarakat adat dan kebijakan RA, dan akses RA untuk kesejahteraan masyarakat.

       Isu-isu di atas akan dibahas secara intens dalam diskusi-diskusi dalam 10 tema turunan dengan menghadirkan berbagai peneliti, akademisi, mahasiswa, dan praktisi dari berbagai latar belakang dan disiplin ilmu. Sementara pembicara utama dalam diskusi akan menghadirkan Menteri ATR/BPN, Dirjen Penataan Agraria, perwakilan dari kalangan akademisi, dan praktisi atau pelaku di lapangan.